Senin, 21 Januari 2013

Alamat Salon Plus Balikpapan

Posting kali ini dalam artikel berjudul  : Alamat Salon Plus Balikpapan
selamat membaca dan menikmati semoga bisa
menambah semangat sobat2 menghadapi hari demi hari....

Untuk sementara waktu artikel tentang : Alamat Salon Plus Balikpapan
sedang kami edit ulang untuk kepuasan smua pengunjuang blog.
setelah lengkap dan akurat segera kami posting kembali
artikelnya, trims sebelumnya

Untuk pengganti sementara artikel yang sobat2 cari, admin ganti
dengan cerita plus dibawah ini ya...
semoga ceritanya bisa menghibur sobat-sobat...


Cinta Dan Luka

“In vijftien minuten, zullen wij bij Parijs aankomen..”
Merinding bulu kuduk saya ketika tour guide mengumumkan dalam bahasa Belanda
bahwa bus yang saya tumpangi akan tiba di tujuan dalam waktu 15 menit. Keletihan
tubuh karena 8 jam duduk di bus dikalahkan oleh keinginan melihat kota yang
begitu diagung-agungkan oleh para pecinta yang romantis: Paris!

Sebelumnya, sekalipun di dalam mimpi, saya tidak pernah membayangkan akan berada
di sini. Krisis ekonomi di Indonesia yang meluluh-lantakkan karir dan kehidupan
saya, ternyata membelokkan alur perjalanan hidup saya.

Saya mengalihkan pandangan saya keluar, terlihat beberapa pesawat di Charles de
Gaulle airport. Tanpa saya sadari, mobil yang lalu lalang di highway A1 yang
berawal dari Belgia ini bertambah banyak. Perhatian saya segera tertuju ke
apartemen-apartemen yang kini berserakan di pinggiran highway. Tidak terlihat
adanya perumahan, ciri khas kota metropolitan.

Steve, William, dan Agung teman kuliah saya yang berasal dari Singapore,
Malaysia dan Indonesia juga terdiam menunggu tibanya bus tersebut di hotel yang
akan didiami selama empat malam. Kemacetan di jalan raya semakin bertambah,
apalagi ketika bus keluar dari highway dan menuju jalanan yang lebih kecil.
Dengan tidak sabaran saya memperhatikan jam tangan saya yang sudah menunjukkan
pukul 16:45. Di ufuk barat, mentari musim dingin mulai menyembunyikan dirinya.

“Come on, lets go out for nice dinner..” Steve yang sekamar dengan saya mengajak
makan malam. Memang, perut saya yang kosong sudah meminta sesuatu buat dicerna.
Siraman air hangat sewaktu mandi menghilangkan keletihan tubuh saya dan
mengantinya dengan perasaan lapar.

Berjalan kaki, kami menyusuri kota Paris. Kota ini begitu istimewa, keramaian
dan kemacetan jalannya mengingatkan saya pada London. Tetapi design bangunan
dengan ukiran dan patung-patungnya sangat mencolok dan berbeda. Hampir setiap
bangunan mempunyai ciri khasnya masing-masing dan begitu indah.

Sebuah Chinese restaurant di Boulevard Montmarte menarik minat kami. Perut-perut
yang keroncongan akhirnya berteriak kegirangan ketika nasi dan beberapa lauk
menganjalnya. Memang perut Asia kami lebih menikmati nasi dibandingkan roti.

Dengan tambahan energy dari makanan, perjalanan menyusuri kota Paris dilanjutkan
kembali. Di sepanjang jalan Boulevard Montmarte ini hadir toko yang banyak
menjual parfum, pakaian dan makanan. Louis Vuitton, Giorgio Armani, Christian
Dior, dsbnya seakan-akan berlomba memamerkan produk-produk terbarunya.

“Eh, Hard Rock Café Paris!” seru William tiba-tiba, “Lets have some drinks.”
Segelas Southern Comfort memberikan kehangatan kepada tubuh saya. Duduk berempat
di café yang masih sepi, kami membicarakan keindahan kota yang menakjubkan ini.

Selesai minum, kami berjalan keluar melalui toko yang menjual sourvenir Hard
Rock. Tertarik oleh kaos hitam special edition café tsb, saya mengantri di
belakang dua orang cewek yang lumayan manis. Perhatian saya segera tertuju ke
mereka ketika mereka mengobrol. Mereka menggunakan bahasa Indonesia! Aneh
rasanya mendengar bahasa tersebut di tempat yang begitu jauh.

“Hallo, dari Indonesia ya?” sapa saya ramah.
Mata kedua gadis di depan saya terbelalak, kaget.
“Iiiyaa..” jawab gadis yang berdiri di depan saya. Tubuhnya yang kecil tertutup
oleh jaket tebal berwarna hitam. Rambutnya yang pendek dicat merah dan matanya
yang bulat terlihat jernih.

Perkenalan pun berlanjut, gadis tersebut bernama Diana dan temannya bernama
Elisabeth. Sungguh enak mengobrol menggunakan bahasa yang sudah lebih dari satu
tahun tidak pernah saya pakai. Alangkah sayangnya, pertemuan sekitar 10 menit
tersebut harus berakhir ketika mereka berjalan meninggalkan café tersebut
bersama teman-teman mereka. Entah karena suasana Paris yang romantis, atau
kerinduan akan cewek setanah air, atau karena mata Diana yang bulat dan jernih,
jiwa saya seakan-akan terbang bersama mereka. Saya termenung melihat mereka
menghilang di keramaian kota.

Bodoh! Goblok! Kenapa tidak meminta nomor telepon? Atau e-mail? Penyesalan
datang melingkupi diri saya sesudah pertemuan tersebut. Perasaan menyesal ini
semakin menggelora ketika keesokan harinya saya mengunjungi menara Eiffel.
Seandainya saja saya bisa menikmati keromantisan kota Paris bersama Diana.
Seandainya..

Sang Pencipta ternyata mengasihani jiwa yang penat menahan dahaga kasih sayang
ini. Di bawah Eiffel tower Sang Pencipta menunjukkan kekuasaannya. Diana bersama
temannya berdiri di salah satu kaki Eiffel Tower, menunggu kesempatan untuk naik
ke menara tersebut. Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Segera saya membeli empat
tiket yang berharga total 180 franc dan ikutan mengantri.
“Diana..” panggil saya, “Ketemu lagi!”
“Ehh.. kamu..” dia kaget. Tetapi dari sinar matanya saya tahu kalau dia juga
merasa senang. Dan ini membuat jiwa saya melayang-layang.

Pembicaraan akrab berlanjut kembali. Diana dan teman-temannya kuliah perhotelan
di Switzerland. Dia sudah lebih dari 3 tahun di sana dan ini adalah tahun
terakhirnya. Teman-temannya berasal dari sekolah yang sama, cuma beberapa dari
mereka masih berada di tingkat pertama atau kedua.

Saya berusaha selalu berdekatan dengan Diana, dan mengenalnya lebih jauh. Jangan
mau kehilangan dia lagi.. bisik hati saya. Di lantai dua Eiffel Tower kami
berfoto bersama. Saat mempunyai kesempatan berdua, saya berbisik di telinganya,
“Semalaman saya memikirkan kamu.” Matanya yang bening menatap saya dan dia
berbisik lirih, “Saya juga.” Ingin rasanya saya berteriak dan melompat
kegirangan.

“On the romantic Seine’s river bank, the lovers go hand by hand.”
Perjalanan menggunakan kapal menyusuri sungai Seine melewati 22 jembatan
merupakan pengalaman yang tidak terlupakan. Dari kapal yang kami tumpangi, kami
bisa melihat pasangan yang sedang mabuk cinta bergandengan tangan dan berciuman
di tepi sungai yang membelah kota Paris tersebut.

Bulu kuduk saya merinding ketika kami melewati gereja Notre Dame yang terkenal
dengan cerita The Hunchback of Notre Dame-nya. Bangunan yang persis sama dengan
bangunan di film kartun yang saya tonton. Di sebelah saya Diana terlihat
termenung, entah apa yang sedang dipikirkan.

“When you pass this oldest bridge in Paris, close your eyes and make your wish.
It will come true.”
Saya menutup mata saya dan diam-diam menyatakan harapan saya. Diana juga menutup
matanya dan menyatakan harapannya. Seandainya saja saya tahu apa yang dia minta,
akan saya penuhi apapun keinginannya.

Melalui jalan mendaki menuju gereja Sacre Coeur, saya mencoba memegang tangan
Diana yang tertutup sarung tangan merahnya. Dia tidak menolak! Di sebelah saya
Steve terlihat akrab dengan Elisabeth. Mereka bercanda dengan mesranya. Memang,
di kota ini cinta mudah sekali bersemi.

Jam baru menunjukkan pukul 17:30, namun mentari sudah bersembunyi di peraduannya.
Dari halaman gereja berwarna putih yang terletak di atas bukit ini, saya
kehilangan kata-kata saya. Di depan saya terpampang kota Paris dengan lampu-lampunya
yang berwarna-warni, begitu menakjubkan. Dari kejauhan terlihat Eiffel Tower
yang terang benderang. Saya memberanikan diri untuk memeluk tubuh Diana. Pelukan
yang tidak saya lepaskan sampai kami kembali ke kamar hotel mereka.

Saya berbaring di kasur sambil melanjutkan pelukan saya. Lengan Diana melingkari
leher saya dan kepalanya menyender di dada saya. Di kasur sebelah saya Steve dan
Elisabeth sedang bercanda mesra.

Kekuatan cinta saya membuat saya berani mencium pipinya, tanpa mempedulikan
Steve dan Elisabeth. Diana cuma tersenyum misterius. Ciuman saya kemudian
berlanjut ke bibirnya yang merah merekah. Terasa bibirnya yang sedikit kering
karena dinginnya angin musim dingin.

Kegilaan kami bertambah ketika Elisabeth memadamkan lampu kamar. Dari sinar yang
masuk lewat jendela, saya bisa melihat mata Diana yang sendu. Seperti magnet,
bibir saya kembali tertarik ke bibirnya, saling berpagutan dengan mesranya.
Perlahan Diana menarik selimut menutupi tubuhnya. Saya menganggap tindakan dia
sebagai undangan untuk melakukan hal yang lebih jauh. Saya ikutan menyusup ke
dalam selimut.

Jari-jari tangan saya mulai bergerilya menyusuri sepasang gunung Diana yang
masih tertutup sweater. Usaha mencari puncak gunung tersebut agak terganjal oleh
tebalnya sweater dan bra yang masih dikenakannya. Namun kekenyalan gunung
tersebut membuat tangan saya betah bermain di sana, meremas dan meremas.

Kemudian tangan saya menyusup ke balik sweaternya dan menyusuri kulit perutnya
yang mulus menuju dadanya. Dengan lincah jari tangan saya menyusup ke branya.
Ketika ujung gunung kembarnya tersentuh, tanpa ampun jari-jari tangan saya
bermain di sana.

Jari tangan Diana ternyata tidak tinggal diam. Kedua tangannya beralih ke ikat
pinggang saya dan berjuang melepasnya. Jari tangannya yang cekatan berhasil
melepas ikat pinggang saya diikuti celana jeans dan celana dalam saya. Ketika
terlepas, saya menendang celana tersebut keluar. Batang kemaluan saya yang
terkekang berjam-jam segera berontak menunjukkan kekuatannya.

Belaian tangan Diana membuat batang tersebut mencapai kekerasan dan ukuran
maksimumnya. Tidak sabar, Diana membuka sendiri celana jeans dan celana dalamnya.
Sesudah itu dia berbaring membelakangi saya, sepasang pinggul montok dan mulus
menekan batang kemaluan saya, menan- tang dia untuk bertindak lebih lanjut.

Dengan tubuh masih tertutup selimut, jari tangan saya menuju daerah kemaluannya.
Terasa oleh tangan saya rambut yang keras dan pendek. Rupanya rambut tersebut
dicukur! Jari tangan saya akhirnya bermain di daerah klirotisnya, memutar dan
kadang menggosok dengan cepat. Sekali-kali jari tangan saya masuk ke dalam liang
kewanitaannya yang sudah basah oleh cairan kewanitaannya.

Mata saya beralih sebentar ke kasur sebelah. Steve dan Elisabeth rupanya tidak
mau kalah, terlihat tubuh mereka yang juga tertutup selimut saling menindih.

Akhirnya saya menggerakkan batang kemaluan saya yang sudah tidak sabar menuju
rongga fovaritnya. Dari belakang saya mencoba memasukkan batang tersebut,
lumayan susah. Dengan tuntunan tangan Diana, akhirnya batang tersebut berhasil
menyusuri goa kewanitaannya yang sudah basah kuyub. Cengkraman otot liang
kewanitaan Diana pada batang kemaluan saya membuat saya memejamkan mata. Saya
menggerakkan batang kemaluan saya, keluar masuk, keluar masuk. Jari tangan saya
masih bermain di daerah klitorisnya.
“Ahh..” terdengar desahan Steve. Rupanya dia sudah mencapai pulau kenikmatan
bersama Elisabeth.

Sekitar 5 menit kemudian, Diana menjerit histeris tanpa mempedulikan kehadiran
Steve dan Elisabeth di ruangan tersebut. Satu badai kenikmatan sudah dilalui.
“Kamu di atas ya..” bisik Diana dengan nafas terengah-engah.
Saya mengambil posisi di atas, Diana dan kembali memasukkan batang kesayangan
saya. Kegiatan keluar masuk yang tidak pernah membosankan tersebut kembali
berlanjut. Goyangan pinggul Diana menambah kenikmatan yang saya rasakan. Tanpa
kami sadari, selimut yang menutupi tubuh kami terbuka memamerkan kekekaran tubuh
saya dan sepasang buah dada Diana yang menjulang indah. Saya membungkukkan tubuh
berusaha menjangkau puncak gunung tersebut dengan lidah saya. Karena tubuh saya
yang jauh lebih tinggi, saya tidak berhasil melakukannya.

Tiba-tiba terasa ada kepala di samping saya. Saya tercegang, rupanya Elisabeth
sudah berdiri di sebelah tubuh Diana. Matanya yang sayu menatap wajah Diana.
Perlahan dia mendorong tubuh saya ke atas dan dia menggerakkan mulutnya yang
munggil ke gunung kembar Diana. Dia menjulurkan lidahnya dan bermain di sana.
Diana membuka matanya yang tersenyum. Dia membelai rambut Elisabeth!

Gila! Kata pertama yang melintas di kepala saya.
Peduli Amat! Kata kedua yang membuat saya memutuskan untuk jalan terus.

Saya memperbaiki posisi saya, tangan saya menahan sepasang kaki Diana yang
tertekuk membentuk sudut 90 derajat dengan tubuhnya dan dengan posisi berlutut
saya memasukkan batang kemaluan saya setelah sebelumnya menganjal pinggulnya
dengan bantal.

Selanjutnya hujaman batang kemaluan saya semakin ganas, sementara lidah
Elisabeth masih bermain di dada Diana. Tidak terlukiskan dengan kata teriakan
histeris Diana saat itu. Teriakan Diana, pemandangan lidah Elisabeth yang sedang
bermain di buah dadanya Diana, dan perasaan sayang yang menggebu-gebu membuat
saya tidak bisa bertahan lama walaupun segala teknik menahan ejakulasi sudah
saya keluarkan. Akhirnya batang kemaluan saya menumpahkan cairan putihnya di
dalam tubuh Diana.

Tetesan air mata mengantar perpisahan kami berpisah di tanggal 30 Desember 2000.
Saya kembali ke Amsterdam dan dia kembali ke Swiss. Sampai saat ini, harapan
saya saat melewati jembatan tertua di kota Paris tidak terpenuhi. Sebenarnya
harapan saya adalah, “Hidup berbahagia bersama Diana selamanya!”

“Saya tidak pernah bisa mempercayai lelaki kembali. Tiga tahun lalu di sini,
Paris, saya menyerahkan milik saya yang paling berharga kepada pria yang sangat
saya sayangi. Ternyata dia penipu, dia sudah beristeri. Luka tersebut
meninggalkan bekas yang sangat dalam dan tidak ada satu lelakipun yang bisa
menyembuhkannya, saya berbahagia bisa bertemu dengan kamu.”

“Diana.. Diana.. mengapa kamu tidak mau memberikan kesempatan kepada saya? Akan
saya buktikan bahwa tidak semua lelaki itu bangsat! Cinta memang mengakibatkan
luka, namun luka tersebut hanya bisa disembuhkan kembali oleh cinta.” Cuma
itulah yang bisa ucapkan ketika membaca mail terakhirnya